Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah [2]: 183)
BincangSyariah.Com- Bulan puasa memiliki pertalian yang sangat istimewa dengan momentum diturunkannya kitab suci Alquran. Sebagaimana dimaklumi bersama, kitab suci Alquran merupakan sumber pandangan hidup orang beriman.
Perlu diketahui bersama pula persoalan kemurnian atau otentisitas Alquran sebagai kitab suci. Barangkali hanya Alquran yang diakui, baik dalam kalangan Muslim maupun non-Muslim, sebagai satu-satunya kitab suci di dunia yang memiliki tingkat otentisitas paling tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya orang yang mampu menghafal Alquran di luar kepala, baik di belahan bumi barat maupun timur. Mereka dinamakan para hâfidz Al-Qur’ân. Dengan demikian, kalau terjadi kekeliruan sedikit saja, walau hanya satu huruf umpamanya, maka akan dengan mudah diketahui.
Di sisi lain, wujud otentisitas kitab suci Alquran merupakan janji Allah Swt. yang akan melindungi Alquran dari upaya pemalsuan. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya, Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (QS Al-Hijr [15]: 9).
Hal yang paling menjadikan Alquran tetap terjaga keotentikannya, barangkali karena Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. Ini seperti yang diungkapkan oleh Alquran sendiri, Dengan bahasa Arab yang jelas (QS Al-Syu‘arâ’ [26]: 195).
Berdasarkan penelitian Hodgson, orang Barat yang banyak menulis buku-buku tentang keislaman, diakui bahwa bahasa Arab merupakan bahasa dunia yang memiliki dinamika internal yang sangat tinggi sehingga mampu dengan mudah mengadaptasikan dirinya sesuai dengan perkembangan zaman. Lebih lanjut ditegaskan, di antara bahasa di dunia yang pernah mempengaruhi peradaban manusia, yakni bahasa Latin, Romawi, Sanskerta, dan Arab, hanya bahasa Arablah yang hingga saat ini masih hidup dan dipakai orang dalam percakapan atau komunikasi. Bahasa yang lain sudah mati.
Berkenaan dengan peristiwa turunnya Alquran atau lebih populer dengan sebutan Nuzulul Quran, bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam sungguh sangat bersyukur karena termasuk bangsa yang menyelenggarakan peringatan Nuzulul Quran sebagai sebuah peristiwa nasional setiap tahun. Dan, yang lebih hebat lagi adalah bahwa acara tersebut juga dihadiri oleh para pemimpin dan pejabat tinggi negara.
Turunnya Alquran pada tanggal 17 Ramadan dan dikaitkan dengan turunnya surah pertama kepada Nabi Muhammad saw. saat beliau melakukan khalwat di Gua Hira, masih diperdebatkan oleh para ulama. Surah tersebut kemudian dinamakan Surah Al-‘Alaq, berjumlah lima ayat.
Namun satu hal yang pasti, pada tanggal 17 Ramadan telah terjadi Perang Badar. Perang tersebut merupakan perang yang pertama kali terjadi dalam sejarah awal perkembangan agama Islam. Oleh karena itu, perang tersebut begitu berarti dan sangat menentukan, tentunya menyangkut kelangsungan agama Islam di kemudian hari. Itulah sebabnya, oleh Alquran dinamakan Al-Furqân (yang membedakan antara dua kekuatan) bâthil dan haqq (kebenaran). Kata Al-Furqân sendiri sebenarnya juga merupakan nama lain Al-Quran. Sesuai dengan fungsi dan misinya, yakni sebagai pembeda antara yang haq dan yang bâthil.
Namun demikian, ada baiknya di sini disinggung arti kata nuzul-u ’l-Qur’ân untuk memberikan pengertian yang memadai sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih baik lagi berkaitan dengan peristiwa atau kejadian tersebut. Dalam Alquran terdapat tiga kata yang menjelaskan hal diturunkannya Alquran—ketiganya merupakan derivasi atau kata turunan dari akar kata yang sama, yakni na-za-la. Ketiga kata tersebut adalah inzâl, dari akar kata anzala, nuzûl dari akar kata nazala, dan tanzîl dari akar kata nazzala.
Alquran diturunkan pada malam-malam ganjil dalam sepuluh hari terakhir bulan Ramadan. Malam-malam tersebut dinamakan malam laylat-u ’l-qadr atau Malam Kepastian. Proses turunnya Al-Quran disebut inzâl, yakni diturunkannya Alquran ke dalam lauh al-mahfûzh dalam wujud sebagai prototipe kitab suci—proses yang serupa juga dialami oleh kitab-kitab suci lain sebelumnya. Selanjutnya, Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., yang prosesnya disebut nuzûl—membutuhkan waktu 23 tahun.
Adapun surah-surah yang ada dalam Alquran selanjutnya diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Yang pertama kelompok Makkiyah, atau periode Makkah. Kelompok ini ditandai dengan ciri-ciri ayatnya yang pendek dan isinya memfokuskan pada penanaman nilai-nilai keimanan.
Dan yang kedua adalah kelompok Madaniyah, yang artinya diturunkan pada periode Madinah. Madînah dalam bahasa Arab mengandung pengertian kota yang teratur karena telah memiliki peradaban. Adapun, surah-surah Madaniyah bercirikan menyoroti masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Itu karena setelah Nabi Muhammad saw. hijrah atau melakukan migrasi dari kota Makkah ke kota Madinah, beliau bersama-sama kaum Muslim mulai membangun sebuah tatanan sosial yang sama sekali baru—yang berbeda dengan tatanan yang ada di kota Makkah.
Sementara itu, kata tanzîl mengandung pengertian proses pembumian Al-Quran ke dalam realitas kehidupan. Di sini, fungsi dan peran Al-Quran adalah merespons, menjawab, dan memberikan berbagai solusi atau pemecahan atas berbagai persoalan sosial yang dihadapi oleh umat Islam.
Contohnya, ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Muhammad saw. tentang bulan sabit, al-ahillati, seperti dalam ayat Alquran disebutkan, Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah, “Bulan sabit adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji …” (QS Al-Baqarah [2]: 189). Contoh lain, mereka bertanya kepada Nabi Muhammad saw. tentang harta rampasan (al-anfâl). Juga ada yang bertanya tentang kisah seseorang yang bernama Zulqarnain dan masih banyak lagi.
Alquran sebagai kitab suci samawi, di sisi lain juga harus dipahami sebagai simbol kontinuitas proses kenabian dan risalah ajaran tauhid. Itu karena Alquran datang dengan mengklaim bahwa dirinya sebagai pembenar kitab-kitab suci sebelumnya (mushaddiqun baina yadaih). Alquran juga berfungsi sebagai yang menjelaskan posisi kitab-kitab sebelumnya (mubayyinun). Serta, yang paling penting dari kedudukannya dalam kaitan dengan kitab-kitab suci sebelumnya, adalah sebagai yang mengoreksi, furqân.
Dengan kata lain, sesuai dengan misi kedatangan atau turunnya Alquran adalah adanya indikasi telah terjadi berbagai penyimpangan dan penyelewengan terhadap isi dan autentisitas kitab-kitab suci sebelumnya. Dalam Alquran sendiri dinyatakan, Dia menurunkan Al-Kitab (Alquran) kepadamu dengan sebenar-benarnya, membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil (QS âli ‘Imrân [3]: 3).
Itulah sebabnya kemudian, ayat terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. berbunyi, … Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu jadi agama bagimu … (QS Al-Mâ’idah [5]: 3). Dari ayat tersebut, sepertinya, Alquran secara tersirat menegaskan bahwa ajaran agama Islam—agama Islam yang sudah dimulai sejak misi kenabian dan kerasulan Adam a.s.—sudah dinyatakan sempurna. Dalam bahasa Arab digunakan istilah akmaltu, yang artinya Aku (Allah Swt.) sudah sempurnakan, dalam pengertian pewarisan dan pengembangan ajaran-ajaran samawi sebelumnya.
Alquran, selain mengandung perintah dan larangan, juga memuat cerita-cerita. Cerita-cerita itu dinyatakan dan diakui para ilmuwan sebagai ahsan-u ’l-qashash (cerita-cerita terbaik). Ini karena cerita-cerita itu mengandung pesan-pesan moral yang sangat tinggi dan untuk diambil sebagai pegangan, pandangan, dan tuntunan hidup.
Meskipun demikian, memang pernah ada yang melontarkan kritikan berkenaan dengan cerita-cerita dalam Alquran dengan adanya penonjolan romantisme-percintaan seperti pada kisah cinta Nabi Yusuf dan Zulaiha. Namun kemudian, pernyataan dan nada negatif itu terbukti tidak memiliki alasan yang mendasar sama sekali. Kritikan yang demikian kemudian dibantah dan dipatahkan oleh Alquran sendiri. Diakui bahwa Alquran memuat kisah cinta Yusuf dan Zulaiha. Namun kalau diteliti, kisah tersebut hanya sebagian kecil saja dan itu pun tetap memiliki pesan-pesan moral yang sangat tinggi, seperti anjuran tidak menuruti dorongan atau ajakan hawa nafsu karena hawa nafsu selalu mengajak kepada kejahatan.
Dalam sejarah, proses diturunkannya Alquran telah melibatkan Malaikat Jibril, dari kata bahasa Ibrani jibrael, atau utusan Tuhan. Selain itu, Al-Quran juga diakui sebagai sebuah kompendium. Yang demikian itu juga dinyatakan secara eksplisit oleh Alquran sebagai berikut, (ini adalah) satu surah yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalamnya), dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatnya (QS Al-Nûr [24]: 1).
Ada sebuah pertanyaan, mengapa Alquran diturunkan pada bulan suci Ramadan? Kalau saja mau direnungkan, yang demikian itu ternyata erat kaitannya dengan asumsi bahwa bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya orang beriman dianjurkan menjalankan ibadah puasa. Mereka sedang banyak-banyaknya melakukan tadabbur, ihtisâb, dzikr, perenungan, dan sebagainya. Amalan-amalan itu, sesungguhnya, merupakan sebuah upaya pengkondisian untuk menangkap makna dan pesan Alquran.
Dengan kata lain, untuk dapat menangkap makna dan pesan-pesan dalam Alquran sebagai sumber pandangan hidup, seseorang harus memiliki terlebih dahulu modal dasar yang berupa ikatan spiritual, spiritual attachment, seperti kondisi ruhaniah bulan Ramadan. Dan selanjutnya, ia harus memiliki persiapan dan kesediaan pertama jasmaniah, mau membacanya. Kemudian dilanjutkan dengan kesediaan intelektual yang berupa kemauan memahami dan merenungkan. Setelah itu, baru akan meningkat kepada kesediaan nafsiah. Pada gilirannya Alquran dengan sendirinya akan memberikan efek pada diri pembacanya.
Seperti ditegaskan sendiri oleh Alquran, sesungguhnya Alquran dapat memberikan petunjuk, namun sekaligus juga dapat menyesatkan, yakni bagi mereka yang tidak mau merenungkan dan mengakui kebenaran Alquran. Yang demikian itu, justru akan menimbulkan sikap dan semangat perlawanan terhadap Al-Quran sendiri, seperti yang dinyatakan dalam Al-Quran, … Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan oleh Allah dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang diberi petunjuk … (QS Al-Baqarah [2]: 26).
Alquran yang dalam bahasa Arab berarti bacaan dengan keras (recitation). Kalau dibaca terus-menerus, meski tidak dapat memahami artinya dengan tingkat keindahan gaya bahasanya, ternyata terbukti dapat menimbulkan ketenangan ruhani bagi yang membaca atau mendengarkan. Khususnya apabila dibaca secara perlahan dan dihayati dalam hati seperti dianjurkan sendiri oleh Alquran, … Dan bacalah Alquran itu dengan perlahan-lahan (QS Muzzammil [73]: 4).
Dalam sebuah hadis juga disabdakan agar orang beriman membaca Alquran dengan suara yang indah atau seni qirâ’at karena akan dapat memberi efek tersendiri kepada pendengarnya, “Hiasilah Alquran itu dengan suara kalian” (HR Hakim).
Berkaitan dengan kegiatan seni baca Alquran, sekali lagi perlu diingatkan di sini, meski Indonesia bukan negara Islam, ternyata bangsa Indonesia telah diakui dunia internasional sebagai bangsa yang paling baik dalam membaca Alquran setelah orang-orang Arab. Bahkan, seperti kita ketahui, dalam forum MTQ internasional, bangsa Indonesia telah mampu tampil dengan prestasi yang gemilang dan berhasil mengalahkan negara-negara lain, termasuk negara Arab sendiri. Sebagai bangsa Indonesia—yang mayoritas penduduknya beragama Islam—pengakuan dan prestasi itu harus disyukuri.
Bersamaan dengan menjalankan ibadah puasa, kita dianjurkan agar sedapat mungkin mau memperbanyak membaca, mengkaji, dan merenungkan Alquran. Ide dasarnya adalah agar kita mendapat petunjuk dan hidayah dari Alquran sehingga hati kita pun menjadi sejuk dan damai, atau sakinah dalam menjalankan kehidupan ini.[]