Sesungguhnya orang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetar hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (QS Al-Anfâl [8]: 2)
BincangSyariah.Com- Eksistensi kitab suci Al-Quran sesungguhnya berkaitan sangat kuat dengan bahasa Arab. Bahasa ini dinyatakan dan diakui banyak ahli di dunia sebagai bahasa yang memiliki keistimewaan dan kelebihan luar biasa dibandingkan dengan bahasa-bahasa lain dunia. Di antara keistimewaan bahasa Arab adalah kekayaannya sangat hebat, baik dari segi kata (al-mufradât) maupun ungkapan (uslûb) atau idiomatic expression.
Perkembangan bahasa Arab di sisi lain juga ternyata memiliki pertalian yang kuat dengan sejarah perkembangan peta politik dunia Islam pada masa lalu. Ketika kekuatan Islam bersentuhan dengan bangsa-bangsa non-Arab, bahasa Arab dipakai dan dijadikan bahasa mereka.
Contohnya, bangsa Mesir yang memakai bahasa Arab. Bahasa bangsa Mesir yang asli malah tergeser karena berhasil diarabkan. Kasus yang sama terjadi pula dengan Libia, di Afrika Utara. Mu’ammar Qadhafi yang sebenarnya adalah dari bangsa Kartago, juga mengklaim atau mengaku sebagai bangsa Arab. Begitu pula wilayah-wilayah lain yang jumlahnya cukup banyak yang berhasil diislamkan. Kecuali, barangkali, bangsa Persia atau Iran yang meskipun berhasil diislamkan dari keyakinan lamanya Zoroaster atau Majusi, mereka tidak mau diarabkan.
Perkembangan yang spektakuler itu, di antaranya, disebabkan oleh pengaruh bahasa Arab. Bersamaan dengan meluasnya wilayah politik dunia Islam, kemudian timbul pula problem, bagaimana agar mereka dapat memahami Al-Quran sebagai kitab suci mereka. Dan sejak saat itulah masalah menerjemahkan Al-Quran memulai perannya. Jadi, masalah terjemahan Al-Quran sesungguhnya adalah masalah klasik yang timbul pada awal masa sejarah penyebaran Islam.
Oleh karena Al-Quran adalah kitab suci yang berfungsi sebagai petunjuk dan sumber pandangan hidup bagi para pemeluknya, maka pesan-pesan Al-Quran harus dapat dipahami. Dari sini kemudian lahirlah tafsir-tafsir Al-Quran dan terjemahan, yang tidak lagi dipandang sebagai kitab suci Al-Quran berdasarkan pendapat para ulama. Yang dipandang kitab suci Al-Quran hanyalah yang berbahasa Arab.
Namun, tidak ada salahnya kalau kita memahami Al-Quran melalui terjemahan karena tidak semua orang dapat memahami bahasa Arab secara baik dan benar. Dalam kasus ini, tepat kiranya kalau para penafsir Al-Quran seperti Prof. Dr. Mahmud Yunus, juga mengatakan bahwa selain yang berbahasa Arab—perlu diketahui bahwa ada Al-Quran yang ditulis dengan tulisan Latin, misalnya—dipandang bukan kitab suci Al-Quran dan dinamakan terjemah atau tafsir Al-Quran.
Begitu juga Marmaduke Pickthall, seorang sastrawan Inggris yang kemudian masuk Islam dan menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Meaning of the Glorious Holy Qur’an, juga menyatakan bahwa karyanya bukanlah kitab suci Al-Quran. Artinya, Al-Quran yang bukan berbahasa Arab tidak dipandang sebagai kitab suci, tetapi merupakan tafsir Al-Quran saja.
Dan yang demikian itu sungguh sangat masuk akal karena sudah pasti tidak akan ada seorang pun di dunia ini yang mampu menerjemahkan kitab suci Al-Quran. Itu karena Al-Quran merupakan firman Allah Swt. Di samping, sekali lagi perlu diketahui bersama, secara alamiah ternyata tidak ada bahasa di dunia ini yang memiliki kekayaan bahasa sama dengan bahasa Arab.
Barangkali, bahasa dunia yang mewakili untuk penerjemahan Al-Quran adalah bahasa Inggris yang juga kaya akan ungkapan atau idiom. Akan tetapi, sekali lagi, bahasa Inggris pun diakui oleh para ahli bahasa belum mampu menampung makna-makna, kedalaman, dan ketajaman bahasa yang ada dalam Al-Quran.
Al-Quran sebagai kitab suci membutuhkan kesiapan ruhaniah untuk dapat dipahami dan dibaca. Al-Quran bukan kitab magis atau kumpulan mantra-mantra yang memiliki kekuatan magis dan dapat menimbulkan efek-efek tertentu sehingga apabila dibaca atau dibawa akan dapat memberikan pengaruh atau perlindungan sebagaimana yang diyakini. Sikap-sikap yang demikian itu dapat dikategorikan sikap religio-magis.
Namun, sebagaimana diketahui, Al-Quran sejalan dengan grand design Allah Swt. sebagai kitab suci yang diturunkan dengan maksud sebagai sumber petunjuk dan tuntunan yang harus direnungkan (tadabbur) pesan-pesannya. Dengan demikian, Al-Quran mampu menjadi petunjuk bagi orang beriman dalam menjalani kehidupan, baik dunia maupun akhirat.
Dalam menyikapi kitab suci Al-Quran, memang kemudian ditemukan tingkatan yang berlapis-lapis. Yang pertama adalah tingkat jasmaniah, yang diindikasikan dengan gambaran seseorang yang mau mengambil, membuka, dan membaca Al-Quran. Kemudian meningkat pada tingkat kedua, yakni tingkat psikologis yang ditandai oleh adanya predisposisi kemauan untuk memahami, yang kemudian disusul dengan tingkat ruhaniah. Dan tingkat yang paling tinggi adalah rasional, yakni mau merenungkan dan memikirkan pesan-pesan kandungan Al-Quran itu sendiri.
Untuk dapat mencapai tahap-tahap tersebut, barangkali dapat dibuatkan analogi atau kiasan pada orang-orang yang gemar mendengarkan lagu-lagu Barat, yang tentunya berbahasa Inggris. Meski mereka kebanyakan tidak mengetahui atau memahami arti lagu tersebut karena alasan bahasa, tampak bahwa mereka juga dapat menikmati lagu tersebut, paling tidak lewat ritmenya.
Hal yang serupa juga disamakan dengan kasus membaca Al-Quran. Yang utama adalah kesiapan ruhaniah untuk mendengarkan ayat-ayat Al-Quran tadi. Artinya, tanpa harus terhalang oleh alasan tak mampu berbahasa Arab. Dengan mendengarkan ritme Al-Quran, seseorang sudah dapat merasakan ketenangan, keheningan, serta ketenteraman batin dan jiwa.
Yang demikian itu terjadi karena kita meyakini bahwa Al-Quran merupakan kalam atau firman Allah Swt. sehingga bila mendengarkan Al-Quran, kita juga sedang mendengarkan perkataan atau kalam Allah Swt. dan itu memberikan efek tersendiri dalam jiwa kita.
Sebagaimana diklaim oleh Al-Quran, ciri-ciri orang beriman adalah mereka yang mudah menerima, responsif, ketika mendengarkan irama Al-Quran, seperti dinyatakan, Sesungguhnya orang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetar hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal (QS Al-Anfâl [8]: 2).
Al-Quran adalah kitab suci yang kebenaran ayat-ayatnya tidak disangsikan oleh kalangan umat Islam sebagai pengecualian. Pernah dalam sejarah muncul sekelompok orang Islam yang menyatakan keberatan bahwa ayat Surah Yûsuf tidak termasuk bagian Al-Quran karena di dalamnya mengandung romantisme kisah cinta Yusuf dengan Zulaiha.
Namun, kemudian dalam perjalanan sejarah, pandangan seperti itu gugur dengan sendirinya karena kisah romantisme dalam Al-Quran itu kemudian disusul dengan pesan-pesan moral yang sangat tinggi. Seperti perkataan Nabi Yusuf ketika menghadapi godaan sebagai berikut, Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Yûsuf [12]: 53).
Adapun dalam menyikapi Al-Quran, pertama-tama kita harus meyakini bahwa ia merupakan kitab suci yang diturunkan oleh Allah Swt., yang di dalamnya berisikan pesan-pesan sebagai petunjuk dan tuntunan hidup. Kita harus menjauhi munculnya keyakinan bahwa Al-Quran adalah kitab magis.
Sementara itu, etika ketika hendak membaca Al-Quran di antaranya harus dimulai dengan kesucian diri. Dari segi lahiriah, kesucian itu berupa mengambil air wudu. Kemudian, membaca ta‘âwud, yakni mengucapkan a‘ûdzu billâhi minasy syaithânir nirrajîm, sebagaimana dianjurkan oleh Al-Quran, Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk (QS Al-Nahl [16]: 98).
Setelah itu disambung dengan membaca bismi ’l-Lâh, sebagaimana hadis Nabi Muhammad saw. yang sangat masyhur mengatakan, “Setiap pekerjaan yang baik tidak dimulai dengan membaca bismillâh, maka akan sia-sia”.
Dalam kasus membaca bismi ’l-Lâh, perlu diketahui bahwa Surah Al-Barâ’ah adalah kekecualian. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidak apa-apa memulai tanpa membaca bismi ’l-lâh pada awal surah itu.
Dan apabila hendak mengakhiri bacaan Al-Quran, kita dianjurkan mengucapkan shadaqallâh. Ungkapan yang demikian itu merupakan kesepakatan para ulama sebagai pembuktian bahwa kita meyakini kitab suci Al-Quran adalah benar-benar perkataan, kalam, atau firman Allah Swt.
Sebagai sumber pandangan hidup orang beriman, Al-Quran harus direnungkan dan dikaji, kemudian diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga pesan-pesan dan ajaran Al-Quran dengan sendirinya menjadi sikap hidup di negara Indonesia yang kehidupan agamanya majemuk atau pluralis. Seperti yang disepakati oleh para pendiri Republik ini, Indonesia bukan negara agama. Dengan demikian, menjadi tugas dan tanggung jawab umat Islamlah untuk mampu menanamkan pada dirinya pandangan-pandangan yang bersumber dari ajaran Al-Quran agar tatanan yang ada sesuai dengan tuntutan Al-Quran.
Kita juga harus menyadari, betapapun suatu aturan yang dibuat sebagai sumber hukum yang diambil dari luar tidaklah akan kuat dan implikasi jangka panjangnya akan mudah dilanggar oleh anggota masyarakatnya. Artinya, hukum juga harus lahir dari kesadaran diri. Dengan begitu, sebuah law enforcement dari luar apa pun, sebagaimana kita ketahui, hanya akan berakhir dengan sia-sia kalau tidak didukung oleh kesadaran diri yang tumbuh dari dalam anggota masyarakatnya.
Hukum haruslah timbul dari aspirasi yang hidup dalam suatu masyarakat dan diyakini. Kemudian, dalam perjalanannya ia mengalami tahap generalisasi, lalu disusul oleh tahap pengkristalan. Hukum yang demikian itulah yang efektif mengatur sebuah masyarakat, sehingga lambat laun dengan sendirinya menjadi pandangan hidup. Inilah yang menjadi tugas dan tanggung jawab umat Islam agar berusaha mengaktualisasikan nilai-nilai Al-Quran.
Al-Quran sebagai kitab suci harus dipelihara oleh orang beriman dengan banyak dibaca, dihapal, direnungkan, dan dikaji makna dan pesan-pesannya. Kemudian, ia harus mampu dijadikan sumber kesadaran hidup bagi pemeluknya. Dengan demikian, orang beriman akan terus mampu menjalani dan menjawab tantangan hidup sesuai dengan tuntutan-tuntutan yang bersumber dari ajaran Al-Quran dalam rangka mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.[]