Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah dan apabila mendapatkan kebaikan, ia amat kikir. (QS Al-Ma‘ârij [70]: 19-21)
BincangSyariah.Com- Seseorang yang dapat menjalankan ibadah puasa, oleh para mubalig sering dikatakan karena mendapatkan limpahan taufik dan hidayah dari Allah Swt. Dengan demikian, bisa saja orang yang sehat secara jasmaniah, namun karena tidak mendapat taufik dan hidayah dari Allah Swt., ia tidak dapat menjalankan ibadah puasa. Dengan kata lain, kesanggupan berpuasa tidak semata-mata menjadi urusan manusia.
Kadang-kadang, pengertian kata taufik dan hidayah terlupakan begitu saja. Ini karena kata taufik dan hidayah sering terdengar dan digunakan dalam berbagai kesempatan sehingga makna sesungguhnya kemudian tidak tertangkap. Kata taufik berarti “bimbingan”. Bila para mubalig biasanya menutup ceramah dengan perkataan bi ’l-Lâh-i taufîq wa ’l-hidâyah, maksud sesungguhnya adalah memohon bimbingan kepada Allah Swt. agar kita mendapatkan kekuatan untuk menerima rahmat Allah Swt. baik yang berupa kemudahan maupun kesulitan.
Tampaknya cukup mengherankan, untuk mendapatkan kemudahan, dalam arti rezeki yang banyak, kita justru meminta kekuatan dari Allah Swt. Alasan semacam itu sebenarnya bisa kita ketahui. Banyak dari kita ini kuat menderita, atau dalam ungkapan kuat miskin. Akan tetapi sebaliknya, tidak sedikit dari kita yang tidak kuat menerima kemudahan, di antaranya orang tersebut kemudian menjadi lupa diri dan lupa kepada yang memberi rezeki, yakni Allah Swt.
Itulah sebabnya, bisa saja kebaikan dan kemudahan dalam bentuk limpahan rezeki yang diberikan oleh Allah Swt. kepada kita, jangan-jangan merupakan cobaan dan ujian apakah kita kuat menerimanya, mensyukuri, atau malah kita menjadi lupa diri dan sombong. Seperti kita pahami sebelumnya, manusia diciptakan oleh Allah Swt. sebagai ciptaan dan karya terbaiknya. Manusia diberi kekuatan untuk dapat berlaku melebihi derajat malaikat, seperti yang dicontohkan dalam peristiwa Mikraj, tetapi manusia juga diberi kelemahan yang berupa hawa nafsu yang dapat menjatuhkan dirinya ke derajat yang paling rendah, bahkan melebihi binatang.
Di antara kelemahan manusia itu adalah seperti yang dikatakan dalam Al-Quran bahwa manusia adalah makhluk yang mudah berkeluh kesah. Seperti dalam sebuah ayat yang berbunyi, Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah dan apabila mendapatkan kebaikan, ia amat kikir (QS Al-Ma‘ârij [70]: 19-21).
Selain potensi bawaan yang mudah menjadikan berkeluh kesah kalau ditimpa kesulitan, sifat manusia pun amat mudah menjadi sombong apabila mendapatkan kemudahan. Dalam kasus ini, dalam kehidupan sehari-hari, sering terdengar ungkapan-ungkapan seperti, “Coba kalau tidak ada saya” atau “Ini kan berkat usaha saya.” Seluruhnya mengindikasikan bahwa kesuksesan dan keberhasilan diklaim datang dari dirinya. Dari usahanya, inilah contoh sifat sombong.
Adapun kata sombong dalam bahasa Arab diistilahkan dengan ungkapan istighnâ, yang artinya tidak membutuhkan pertolongan pihak lain. Cerita tentang kesombongan dapat ditemukan dalam Al-Quran yang diilustrasikan lewat cerita Nabi Musa a.s. Nabi Musa adalah sosok seorang nabi yang sangat cerdas dan fisiknya juga sangat kuat karena sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan istana Raja Fir’aun. Dengan sendirinya, kebutuhan gizi atau nutrisinya terpenuhi.
Pada suatu hari, Musa ditanya oleh salah seorang pengikutnya, “Apakah ada orang lain di dunia ini yang lebih pintar, lebih alim daripada diri Anda?” Nabi Musa pun menjawab bahwa tidak ada orang yang lebih alim daripada dirinya. Rupanya jawaban Musa membuat Allah Swt. murka. Dikabarkan, diwahyukan kepada Nabi Musa, sekaligus sebagai teguran atas kesombongannya, bahwa ada orang lain yang lebih alim daripada Musa. Nabi Musa pun bertanya dan ingin sekali membuktikan apakah benar orang tadi lebih alim daripada dirinya. Sesuai dengan petunjuk Allah, Nabi Musa pun melakukan perjalanan. Cerita tersebut digambarkan Al-Quran dalam Surah Al-Kahfi.
Musa pun bertemu dengan orang yang bernama Khidir—kemudian dikenal dengan nama Nabi Khidir—dan bertanya, “Betulkah Anda adalah orang yang dikabarkan oleh Allah Swt. sebagai orang yang lebih pintar daripada saya?” Khidir menjawab bahwa dia tidak mengetahui hal yang berkaitan dengan soal tersebut. Musa menjadi penasaran dan ingin membuktikan kealimannya. Untuk menerima dan memenuhi keinginan Musa itu, Khidir menyampaikan sebuah persyaratan sangat sederhana, yakni agar Musa tidak bertanya apa-apa atas hal yang terjadi selama perjalanan.
Ternyata, setelah melalui beberapa rintangan, terbukti Musa tidak mampu menahan kesabarannya dan bertanya kepada Khidir, meminta penjelasan mengapa semua itu dilakukan. Akhirnya Khidir pun menjelaskan alasan-alasan dia melakukan tindakan tersebut. Dengan sendirinya, Musa dinyatakan tidak berhasil melewati ujian yang dibuat Khidir.
Selain sifat sombong, yang diidap manusia adalah sifat rasa dirinya tidak sempurna sehingga sering menimbulkan penyakit psikologis yang dikenal dengan nama rendah diri. Karena dorongan rasa rendah diri tersebut, seseorang setidaknya akan terdorong membuat kompensasi atau pelampiasan. Tindakan itu antara lain, manusia suka dipuji-puji atau senang pujian. Dan karena pujian itulah, kemudian manusia akan mudah digelincirkan seperti yang banyak terjadi.
Seperti diketahui, pujian sering membuat orang lupa diri dan pada akhirnya membuat orang tidak dapat mengendalikan diri. Banyak tokoh dan pemimpin yang jatuh karena mereka mabuk pujian. Padahal, ibarat pepatah asing yang sangat populer, pujian itu mirip parfum yang menebarkan bau harum untuk dihirup dan, bukan kemudian untuk diminum dengan asumsi biar lebih wangi, yang justru malah berakibat fatal. Ungkapan tersebut berbunyi, “Praise is a perfume to smell but not to swallow.”
Dalam perjalanan sejarah dapat ditarik asumsi bahwa dalam batasan tertentu, pujian akan dapat melahirkan semangat kultus individu, seperti yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin. Kultus individu, ternyata, dalam sejarah telah banyak menghancurkan banyak tokoh dunia, seperti yang digambarkan oleh Michael Hart yang menulis buku Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Peradaban Dunia.
Dia memilih Nabi Muhammad saw. sebagai tokoh nomor satu dengan alasan ajaran Nabi Muhammad hingga sampai saat ini terbukti memiliki kadar autentisitas, kemurnian yang paling tinggi dan jauh dari kultus individu. Dalam hal kultus individu, Nabi Muhammad saw. jauh-jauh justru mengatakan kepada umatnya bahwa dirinya hanyalah manusia biasa, “Anâ ‘abdun wa rasûlun.”
Sebagai orang beriman, umat Islam diajarkan untuk tidak berlaku sombong, tapi juga dilarang berendah diri. Orang beriman hendaknya berlaku rendah hati kepada sesama bukan rendah diri, sebagaimana dalam Al-Quran disebutkan, Janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang beriman. (QS âli ‘Imrân [3]: 139).
Kembali menyinggung hidayah atau petunjuk dari Allah Swt. Hidayah tidak diberikan secara gratis, tapi hidayah membutuhkan pengkondisian ruhani, di antaranya adalah mampu menjauhkan diri dari rasa sombong yang dapat menghalangi datangnya hidayah.
Hidayah juga tidak dicapai berdasarkan tinggi dan luasnya ilmu pengetahuan atau kualitas intelektualitas. Akan tetapi sekali lagi, hidayah berkaitan erat dengan penyiapan diri, kemauan menerima datangnya hidayah itu sendiri. Manusia sering kali diliputi oleh topeng-topeng yang berupa embel-embel nama atau gelar, jabatan, yang kadang malah menghalangi dirinya mendapatkan hidayah.
Kisah yang menegaskan bahwa hidayah sekali-kali bukan hal yang diberikan secara gratis atau cuma-cuma, tanpa melalui mujahadah, spiritual exercise, terdapat dalam Alquran. Digambarkan usaha yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dengan penuh ambisius agar menjelang ajal, pamannya, Abu Thalib, dapat memeluk Islam.
Ternyata, meski Nabi Muhammad sudah berusaha maksimal agar Abu Thalib mendapatkan hidayah dan memeluk Islam pada akhir hayatnya, Allah Swt. justru menegur Nabi Muhammad dengan ungkapan, Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang-orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk (QS Al-Qashash [28]: 56).
Dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa hidayah bisa diperoleh atau masuk kalau memang dalam diri seseorang, yakni ruhaniahnya, ada kesiapan untuk menerimanya. Dan yang demikian itu, seperti dalam ayat tersebut ditegaskan, Allah Swt. Maha Mengetahui siapa-siapa saja hamba-Nya yang mau menerima petunjuk-Nya.
Kembali berkenaan dengan kasus ilmu. Tidak menjadi alasan bahwa seseorang dengan ilmu yang luas kemudian dipastikan akan mendapat petunjuk, itu memang benar. Namun begitu, juga perlu diingat bahwa ilmu menjadi sangat penting untuk memahami pesan-pesan agama yang dapat membawa seseorang ke dalam ketakwaan. Seperti dalam hadis Nabi yang sangat masyhur dikatakan, “Ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah.” Untuk dapat mengetahui, dibutuhkan pencarian, penelitian, refleksi, dan seterusnya. Di sini, ilmu pengetahuan menjadi sangat penting sebagai modal utama.
Berpuasa merupakan sarana yang sangat baik untuk mengasah dan melatih ketajaman ruhaniah karena dengan berpuasa, ruhani menjadi sangat sugestif. Namun juga perlu dipahami, sesungguhnya puasa itu sendiri ibarat pedang bermata ganda. Di satu sisi, berpuasa dapat mendatangkan hal-hal yang bersifat positif dan bermanfaat, seperti puasa Ramadan yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Namun di sisi lain, berpuasa juga dapat membawa ke perbuatan jahat. Hal semacam itu terjadi dalam budaya Samanisme, yang menjadikan puasa sebagai persyaratan untuk mendapatkan kekebalan atau ilmu magic, ilmu magis. Ilmu tersebut ada yang black magic, yang selalu mendorong ke kejahatan dan perbuatan dosa, ada pula white magic yang mengajak orang ke kebajikan.
Di masyarakat kita juga dikenal puasa wishâl atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah pati geni—yang biasanya menjadi prasyarat utama untuk mendapatkan kesaktian atau kekebalan. Puasa dalam bentuk pati geni tersebut—puasa secara terus-menerus dengan tidak berbuka, bahkan ada yang sampai 40 hari—sesuai dengan ajaran Islam dilarang karena bersifat melawan nature kita dan menyengsarakan tubuh kita.
Ibadah puasa dapat menumbuhkan kepekaan dan kesiapan spiritual dan itu menjadi momen atau saat yang kondusif untuk menerima hal-hal yang supranatural atau kegaiban. Dengan menjalankan ibadah puasa Ramadan, orang beriman akan dapat meningkatkan derajat keimanan dan ketakwaannya karena jiwanya semakin bertambah sugestif, responsif, dan bertambah dekat secara ruhaniah dengan Allah Swt. Kondisi yang demikian itulah yang akan dapat memudahkan datang dan masuknya hidayah Allah Swt. ke dalam jiwa seseorang.[]