Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahanam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
(QS Al-Taubah [9]: 109)
Tujuan puasa dalam jangka panjang adalah menjadikan takwa sebagai asas dan pandangan hidup yang benar, dan sebaliknya, bahwa apa pun asas dan pandangan hidup selain takwa dinyatakan secara jelas dan tegas oleh kitab suci Al-Quran sebagai landasan dan pandangan hidup yang salah. Perlu diingatkan kembali bahwa ketakwaan yang bersifat batiniah itu, kemudian juga harus diwujudkan dalam bentuk moral dan budi pekerti mulia. Lewat pencapaian tujuan perintah berpuasa, yaitu takwa, orang beriman akan dengan sendirinya dapat melepaskan diri dari kekangan dimensi kekinian dan kemudian mampu melakukan introspeksi diri.
Kata “introspeksi diri” (ihtisâb)—seperti dikutip dalam hadis Rasulullah Saw. yang menganjurkan orang berpuasa banyak melakukan kegiatan introspeksi diri atau mawas diri sebagai syarat mencapai tujuan ibadah puasa—berarti ampunan. Hadis tersebut berbunyi, “Barang siapa berpuasa penuh dengan keimanan dan introspeksi diri, maka diampuni segala dosa yang telah lalu” (HR Bukhari Muslim).
Namun agaknya kata ihtisâb akan lebih tepat kalau diterjemahkan dengan self-examination atau melakukan koreksi diri. Koreksi diri adalah tindakan yang sangat sulit dilakukan, khususnya oleh mereka yang tidak memiliki sikap jujur dan rendah hati. Berkaitan dengan itu, ungkapan atau pepatah yang berbunyi, “Katakanlah yang benar itu walau pahit rasanya,” sebenarnya pekerjaan tersebut belum terlalu berat jika dibandingkan dengan melakukan koreksi diri. Itu karena biasanya orang akan lebih mudah melakukan kritik dan menilai kesalahan orang lain daripada mengoreksi dirinya.
Kemauan melakukan koreksi atau kritik terhadap kesalahan diri adalah pekerjaan yang amat sulit. Akan tetapi, inilah hakikat akhlak mulia sebagaimana yang dimaksudkan oleh hadis Nabi di atas tadi. Di situlah pentingnya amalan puasa harus diikuti oleh tindakan ihtisâb agar orang beriman dapat memiliki akhlak mulia.
Kalau seseorang tidak mampu melakukan koreksi dan kritik diri, yang di dalamnya dibutuhkan ketulusan dan kejujuran hati, maka yang akan terjadi adalah munculnya sikap sombong, selalu merasa dirinya benar, atau, bahkan paling fatal, mengganggap dirinya paling benar. Sikap semacam itu mirip dengan ungkapan Melayu yang sangat populer di masyarakat kita yang berbunyi, “Kuman di seberang lautan jelas terlihat, sedangkan gajah di pelupuk mata tak terlihat.”
Dalam kitab suci Al-Quran juga disebutkan bahwa sikap sombong atau tidak mau melakukan koreksi diri akan membawa kehancuran, yang berbunyi, Dan jika Kami (Allah) hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami (Allah) perintahkan kepada mereka yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS Al-Isrâ’ [17]: 16).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa orang yang bersikap durhaka, atau dalam bahasa Arab diistilahkan dengan orang fâsiq, adalah orang yang tidak mau menerima kebenaran dan menutup hatinya sehingga hatinya gelap. Dengan demikian, kata fâsiq dapat diartikan sebagai orang yang tidak mau mengikuti kebenaran, termasuk yang datang dari dalam dirinya. Hati orang fâsiq gelap sehingga ia tidak lagi mampu membedakan yang benar dan yang salah. Di sini kemudian orang fâsiq sering diidentikkan dengan orang yang tidak mau mengikuti atau peduli pada aturan atau hukum.
Hati yang tertutup adalah hati yang gelap. Dalam bahasa Arab disebut hati yang zhulmânî, lawan hati nûrânî yang asal katanya nûr, berarti cahaya atau terang, yakni hati yang selalu mengajak kepada kebaikan. Sekali lagi, kalau seseorang atau bangsa sudah dihinggapi penyakit fâsiq, sesuai dengan janji Allah Swt., orang atau bangsa tersebut pasti akan dihancurkan atau dibinasakan hingga rata dengan bumi, sebagaimana difirmankan dalam Al-Quran, Kemudian Kami berpesan kepada keduanya, “Pergilah kamu berdua kepada kaum yang mendustakan ayat-ayat kami,” maka Kami binasakan mereka sehancur-hancurnya (QS Al-Furqân [25]: 36).
Peringatan yang demikian itu telah dibuktikan sendiri oleh umat Islam pada saat kejayaan Islam di Bagdad, Irak. Pada saat itu, umat Islam menjadi pusat peradaban dunia dengan kemegahan kota Bagdad sebagai pusatnya yang dipenuhi oleh gedung-gedung yang megah dan mewah. Bahkan menurut sebuah informasi dari literatur sejarah yang ada di universitas Princeton, Amerika, pada saat Bagdad menjadi kota metropolis, pajak yang dikumpulkan pemerintah Bagdad banyaknya sama dengan kekayaan negara bagian Philadelphia. Akan tetapi, karena mereka kemudian menjadi orang-orang fâsiq, hawa nafsunya sudah tidak lagi dikendalikan dan hati mereka sudah gelap, tertutup, serta mereka hidup bermewah-mewahan, akhirnya mereka dibinasakan dan dihancurkan sehancur-hancurnya oleh bangsa Mongol, bahkan sisa-sisa batu merahnya pun tak tersisa.
Yang demikian itu benar-benar sesuai dengan janji Allah Swt. tadi. Gejala yang demikian juga menjadi sunnatullah, hukum alam, bahwa setiap orang atau bangsa yang sudah tidak lagi menjunjung tinggi moral dan akhlak, ia akan mengalami kejatuhan dan kehancuran.
Sejarahwan terkenal, Gibbon, pun menceritakan hal yang sama dalam bukunya, The Decline and the Fall of Roman Empire. Disebutkan bahwa kerajaan Romawi yang berbentuk imperium yang begitu besar dan ditakuti bangsa-bangsa lain pada zamannya hancur dan binasa karena dipimpin oleh orang-orang fasik, orang yang tidak lagi mau memedulikan aturan atau akhlak. Para raja dan pejabatnya sudah tidak memiliki moral dan akhlak lagi. Mereka hidup bermegah-megah dan hanya mementingkan kepentingan dirinya. Mereka pun akhirnya hancur dan binasa.
Pengertian akhlak (akhlâq jamak dari khulq), sebenarnya memiliki kaitan erat dengan makna penciptaan (khalq), yakni bahwa manusia pada awal mulanya diciptakan Allah Swt. dalam kondisi bersih dan suci. Manusia juga dikaruniai kepekaan batin atau ruhani, berupa dorongan halus untuk selalu mencintai kebajikan, serta kemampuan membedakan yang benar dan yang salah, seperti dinyatakan dalam Al-Quran, … tetaplah atas fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu … (QS Al-Rûm [30]: 30).
Namun perlu diingat, dalam perjalanannya fitrah tersebut dikotori oleh sikap-sikap yang mendahulukan bisikan dan dorongan hawa nafsu sehingga hati nurani sebagai sumber kekuatan yang membimbing kepada kebajikan menjadi gelap. Dan, di situlah yang dimaksud dengan “bahwa sesungguhnya Allah Swt. tidak memberi petunjuk-Nya kepada mereka yang zalim atau hatinya menjadi gelap dan tertutup,” seperti dinyatakan dalam Al-Quran … dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS Al-Baqarah [2]: 258).
Berkaitan dengan problem menjaga dan memelihara fitrah atau sumber akhlak, posisi orangtua sebagai perantara budaya, culture broker, memiliki peran yang sangat penting, sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah Saw. yang sering kita dengar, “Setiap anak yang lahir, dilahirkan dalam kesuciannya, dan kedua orangtuanyalah yang akan mengubahnya, apakah ia akan menjadikannya orang Majusi atau Nasrani.”
Fitrah dapat berarti kesucian, yang hakikat kesucian itu sendiri adalah moral atau budi pekerti yang baik. Jadi, sebenarnya hal-hal yang baik itulah yang sesuai dengan fitrah manusia. Namun, seperti diungkapkan sebelumnya bahwa bersamaan dengan perjalanan sang waktu, akhirnya manusia mengalami penyimpangan-penyimpangan dari hati nurani—juga sering disebut dlamîr, hati kecil, atau fu’âd.
Ibadah puasa, seperti halnya ibadah-ibadah lain dalam Islam, memiliki dimensi intrinsik, yakni dimensi vertikal yang intinya adalah sebagai ritual yang bersifat sangat pribadi, private, dan hanya dengan Allah Swt. Sehubungan dengan itu, perintah shalat diawali dengan takbîrat-u ’l-ihrâm, berarti melakukan pemutusan diri dari hal-hal yang tidak berkaitan dengan Allah Swt.—sebuah simbolisasi dimensi vertikal—kemudian harus diakhiri dengan mengucapkan salam, berarti berbuat baik, beramal saleh kepada manusia.
Ibadah puasa pun memiliki dimensi yang sama dengan ibadah shalat, yakni dimensi konsekuensial, berupa pengembangan rasa empati kepada orang yang berada dalam kesusahan. Anjuran mau peduli dan membantu fakir-miskin, di antaranya dengan mengeluarkan zakat fitrah dan mal. Pentingnya dimensi konsekuensial tersebut, kemudian diwujudkan dalam bentuk anjuran melakukan amalan-amalan sosial (social work) yang pahalanya akan dilipatgandakan. Hal yang demikian itu, juga dianjurkan lewat memberikan makanan untuk berbuka puasa, yang pahalanya sangat besar. Amalan-amalan tersebut seluruhnya akan dapat membantu meningkatkan derajat atau kualitas dimensi vertikal sebuah ibadah.
Untuk dapat mencapai tujuan perintah puasa yang sesungguhnya, baik dari dimensi vertikal maupun konsekuensial, orang beriman dianjurkan melakukan jihad, yakni usaha secara sungguh-sungguh. Adapun kata jihad mengandung pengertian yang lebih banyak menonjolkan pada usaha secara sungguh-sungguh dimensi fisikal atau jasmaniah. Kemudian, ia juga harus melakukan ijtihad, yakni melakukan usaha secara sungguh-sungguh dengan menggunakan pikiran atau intelektual. Kata ijtihad kemudian banyak dipahami sebagai usaha secara sungguh-sungguh yang berkaitan dengan pemikiran atau intelektual. Selanjutnya, orang beriman juga harus melakukan mujâhadah, yang berarti usaha secara sungguh-sungguh dengan segenap kekuatan ruhaniahnya.
Ketiga kata tersebut dengan variasi pengertiannya, jihad, ijtihad, dan mujâhadah, berasal dari akar kata yang sama, yakni jahada.
Dengan berpuasa secara baik dan benar, dengan sendirinya, orang beriman pada saat datang hari Idul Fitri akan menyandang predikat fitri yang artinya ia kembali kepada kesucian atau kebersihan jiwa, atau hati nurani, atau yang alamiah—yang menurut alamiahnya, by nature, manusia mencintai kebajikan dan kebenaran. Setelah setahun hati nurani tertutup oleh kepentingan diri, vested interest, kepicikan hati, kesempitan diri, dengan menjalankan ibadah puasa secara benar—tidak hanya menahan makan dan minum serta semua yang dapat membatalkan puasa seperti dalam pemahaman fiqih formal—juga mampu mengendalikan dari godaan dan dorongan hawa nafsu, maka hati nurani akan menjadi baik kembali. Kembali memiliki kepekaan ruhani terhadap aturan moral atau akhlak.
Meminjam idiom, ungkapan, sastrawan terkenal Dante, bulan puasa dianalogikan sebagai purgatorio atau usaha penyucian karena manusia telah berbuat dosa dan kesalahan yang menimbulkan kesusahan secara spiritual akibat pelanggaran terhadap hati nuraninya. Manusia kemudian jatuh ke dalam inferno. Dan dengan menjalankan puasa secara baik dan benar, manusia akan menjadi bahagia kembali atau masuk ke alam paradiso secara spiritual, karena kembali ke kesucian. Dan inilah hakikat moral atau akhlak mulia sebagai refleksi ketakwaan.[]